Di Balik Tembok Enemawira: Skandal Daging Anjing, Tekanan Kekuasaan, dan Sunyi yang Pecah

 

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto


BCP-NEWS.com | Di sebuah sudut terpencil Sulawesi Utara, Lapas Enemawira berdiri dengan kesunyian khas lembaga pemasyarakatan: tembok tinggi, pagar kawat, dan hiruk pikuk yang tak pernah benar-benar terdengar keluar. Namun awal pekan ini, kesunyian itu pecah. Sebuah laporan melompat ke permukaan—kasar, mengiris, dan menghantam ruang publik:
Kepala Lapas berinisial CS diduga memaksa warga binaan Muslim memakan daging anjing.

 

Tuduhan itu bukan isu pinggir. Ia menyentuh ranah paling sensitif: keyakinan, martabat manusia, dan kekuasaan yang bergerak tanpa kendali.

 

Awal Mula: Sebuah Perayaan yang Menyimpan Bara

Sumber internal Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan menyebutkan bahwa peristiwa bermula dari sebuah acara ulang tahun di dalam lapas. Perayaan yang seharusnya sederhana itu berubah menjadi arena tekanan. Menurut laporan awal, makanan disajikan tanpa mempertimbangkan keberagaman keyakinan para warga binaan. Di sinilah CS—dengan statusnya sebagai pimpinan tertinggi di lapas—diduga mengarahkan, bahkan memaksa, warga binaan Muslim untuk menyantap makanan yang disebut sebagai daging anjing.

 


Bagi sebagian orang, ini mungkin dianggap sepele: hanya makanan. Namun bagi para warga binaan Muslim, tindakan itu setara mematahkan keyakinan yang mereka bawa sebagai pegangan hidup satu-satunya di balik jeruji.

 

Muncul ke Publik: Ketika Sunyi Tembok Tidak Lagi Kedap

Kasus yang awalnya nyaris hanya menjadi bisik-bisik koridor mendadak mencuat ketika Mafirion, anggota Komisi XIII DPR, memutuskan angkat bicara. Pada 27 November 2025, ia menyampaikan temuan tersebut ke publik:

 

“Kepala lapas memaksa warga binaan Muslim mengonsumsi makanan yang jelas diharamkan dalam ajaran Islam.”

Pernyataan itu mengubah situasi. Apa yang sebelumnya hanya riak kecil di internal kementerian mendadak menjadi pusaran besar dengan tekanan politik dan sorotan nasional.
Ditjen Pemasyarakatan bereaksi cepat: Kanwil Ditjenpas Sulawesi Utara turun tangan hari itu juga. CS langsung dinonaktifkan.

 

Gerak Cepat Pemerintah: Respon yang Menyingkap Ketegangan

Empat hari setelah laporan diterima, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, akhirnya buka suara. Sikapnya tegas, bahkan cenderung keras.

“Sudah kami copot. Proses sudah berjalan sejak menerima informasi sekitar empat hari lalu,” ujarnya, Rabu (3/12/2025).

 

Pernyataan tersebut bukan hanya konfirmasi pencopotan, tetapi sekaligus sinyal bahwa kementerian sedang menahan tekanan besar—tekanan publik, tekanan politik, dan tekanan moral.

 

Di internal kementerian, pemeriksaan langsung dimulai. Pertanyaan yang mengemuka:
Jika laporan itu benar, apa motif CS?
Di balik jawaban ini mungkin tersimpan persoalan lebih besar: budaya kekuasaan, kurangnya pengawasan, atau bahkan pola yang selama ini tak pernah muncul ke permukaan.

Agus merespons singkat namun tajam:

“Apa pun alasannya, tidak bisa diterima.”

 

Merunut Jejak Administrasi: Sebuah Kronologi yang Bergerak Cepat

Dokumen internal yang diperoleh redaksi menunjukkan gerak cepat yang jarang terlihat dalam kasus-kasus pelanggaran di sistem lapas:

  • 27 November 2025 — Pemeriksaan awal dimulai. CS dinonaktifkan.
  • 28 November 2025 — Surat perintah pemeriksaan lanjutan terbit. Sidang kode etik dijadwalkan.
  • 2 Desember 2025 — Sidang etik digelar di Ditjenpas Jakarta.

Rika Aprianti, Kasubdit Kerjasama Pemasyarakatan, menyampaikan:

“Apabila hasil sidang etik membuktikan adanya pelanggaran, sanksi tegas akan dijatuhkan.”

Sidang dipimpin oleh Direktorat Kepatuhan Internal—unit yang memang dibentuk untuk menangani pelanggaran aparatur pemasyarakatan tanpa intervensi pihak luar. Namun efektivitasnya kini benar-benar diuji.

 

Gelombang Reaksi Publik: Dari Sorotan HAM hingga Desakan Rekonstruksi

Tak lama setelah kasus mencuat, aktivis HAM, kelompok keagamaan, hingga pemerhati pemasyarakatan mulai bersuara.
Bagi mereka, isu ini bukan hanya tentang “daging anjing”—ini tentang hak beragama, hak yang tidak hilang meskipun seseorang menjalani hukuman pidana.

 

Beberapa aktivis menyebut kejadian ini membuka kembali pertanyaan lama tentang kondisi lapas di Indonesia: sejauh apa kekuasaan pejabat lapas bisa berjalan tanpa kontrol? Dan berapa banyak kasus serupa yang tak pernah keluar karena tembok lapas terlalu tebal untuk ditembus?

Atas semua itu, pencopotan CS dianggap baru “permukaan masalah”.

Yang publik tunggu adalah:
Apakah sidang etik akan mengungkap seluruh kronologi? Atau kasus ini akan dikubur di ruang rapat internal kementerian?

 

Menunggu Putusan: Satu Ruang Sidang, Banyak Pertaruhan

Hingga hari ini, kementerian belum merilis versi lengkap kronologi kejadian. Tim pemeriksa menyebut semua harus menunggu putusan sidang etik.

Namun satu hal tampak jelas:
Kasus ini sudah menjadi lebih dari sekadar dugaan pemaksaan makanan. Ia berubah menjadi cermin yang memantulkan wajah sebenarnya dari relasi kekuasaan di lembaga pemasyarakatan—tempat di mana warga binaan sering kali hidup tanpa suara, tanpa saksi, dan tanpa jaminan bahwa keyakinan mereka tetap dihormati.

Ketika tembok lapas akhirnya retak oleh satu laporan, publik kini menuntut satu hal: transparansi penuh.

Dan pertanyaannya kini bergeser:
Apakah kasus ini akan menjadi preseden perubahan, atau sekadar episode lain yang meredup begitu sidang selesai?


Post a Comment

أحدث أقدم